Perbedaan NU dan Muhammadiyah, Dua Ormas Besar Islam di Indonesia

ORMAS islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua kekuatan dakwah yang menjulang tinggi di Indonesia, melukiskan pemandangan keislaman yang penuh keberagaman dan perbedaan. Berikut ini perbedaan antara NU dan Muhammadiyah

NU, dengan kebijakan toleransinya terhadap tradisi lokal sedangkan  Muhammadiyah dikenal dengan semangat pemurnian Islam dan inovasinya di bidang pendidikan serta mengemban peran penting dalam kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia.

Dikenal sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, baik NU maupun Muhammadiyah memiliki jaringan anggota yang meluas, dengan cabang-cabang yang tersebar di seluruh negeri. 

Baca juga : Muhamadiyah Tetapkan 11 Maret Awal Ramadhan, NU: Tunggu Hilal Terlihat

Namun, keberagaman tersebut tidak hanya terlihat dalam jumlah anggota, melainkan juga dalam pendekatan dan peran keduanya dalam masyarakat.

Setiap menjelang bulan suci Ramadan atau perayaan Idul Fitri, diskusi seputar perbedaan waktu pelaksanaan ibadah puasa dan hari raya menjadi topik utama. Perbedaan waktu tersebut, meskipun sudah menjadi tradisi, tetap menciptakan ruang diskusi yang menarik dan menjadi bagian dari nuansa keberagaman di Indonesia.

Baca juga: Sejarah Nahdlatul Ulama dan Peranan NU di Indonesia

Namun, melampaui perbedaan waktu, terdapat perbedaan lain yang mewarnai hubungan antara NU dan Muhammadiyah. Perbedaan filosofi dan pendekatan dalam menjalankan dakwah menciptakan sinergi yang unik antara keduanya. Dengan harmoni dan perbedaan inilah, NU dan Muhammadiyah terus memberikan kontribusi dalam pembangunan masyarakat, proses demokratisasi, dan kehidupan bernegara di Indonesia.

Dengan mengapresiasi keberagaman dan menjunjung tinggi semangat kerjasama, NU dan Muhammadiyah menjelma menjadi kekuatan yang memperkaya panorama Islam Indonesia, memancarkan cahaya keberagaman dalam kehidupan sehari-hari.

Kenapa ada Islam NU dan Muhammadiyah di Indonesia?

Keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di Indonesia tidak dapat dipahami tanpa memandang akar sejarah dan latar belakang sosial yang menggambarkannya sebagai respon terhadap dinamika kompleks pada awal abad ke-20.

Pada periode ini, Indonesia masih dalam cengkeraman penjajahan Belanda, menciptakan kondisi sosial dan politik yang penuh gejolak. Semangat kemerdekaan semakin berkobar, dan seiring dengan itu, masyarakat Indonesia dihadapkan pada perkembangan keagamaan yang mengakibatkan keragaman pandangan dan praktik.

Kedatangan pemikiran-pemikiran pembaruan Islam, khususnya yang berasal dari Timur Tengah, memicu gerakan reformasi dan modernisasi pemahaman agama. Di tengah kompleksitas kondisi tersebut, muncul kebutuhan untuk membentuk wadah organisasi yang dapat menjadi motor perubahan dan pembaruan dalam masyarakat Islam Indonesia.

NU dan Muhammadiyah muncul sebagai hasil dari pemikiran dan pendekatan yang berbeda terhadap upaya pembaruan Islam. Didirikan pada 31 Januari 1926, NU lahir sebagai reaksi terhadap gerakan modernisasi dan memfokuskan perhatian pada pemeliharaan tradisi keagamaan lokal, sambil tetap mengakomodasi pembaruan Islam.

Sebaliknya, Muhammadiyah, yang didirikan lebih awal pada 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, menekankan gerakan pemurnian Islam dari unsur-unsur lokal yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Pembaruan di Muhammadiyah mencakup bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Perbedaan dalam pemikiran dan pendekatan organisasi memunculkan identitas khas bagi NU dan Muhammadiyah. NU dikenal dengan pandangan yang inklusif dan toleran terhadap tradisi lokal, sementara Muhammadiyah lebih menonjolkan pemurnian Islam dan pendekatan konservatifnya.

Dengan segala perbedaan dan dinamika yang melekat pada keberadaan keduanya, NU dan Muhammadiyah bukan hanya menjadi pilar-pilar keagamaan di Indonesia, tetapi juga berperan penting dalam gerakan kebangkitan nasional dan membentuk identitas keagamaan yang kaya dan beragam di Indonesia.

Perbedan NU dan Muhammadiyah dari latar belakang berdirinya

Dok. Antara

NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, menorehkan jejak panjang dalam perjalanan Islam di tanah air. NU, yang berdiri pada 31 Januari 1926 di Surabaya, dikenal sebagai pelopor toleransi terhadap adat dan istiadat Indonesia. Sementara itu, Muhammadiyah, yang berdiri lebih awal pada 18 November 1912 di Yogyakarta, menjadikan perjuangan di bidang pendidikan sebagai ciri khasnya.

Kisah berdirinya NU mencerminkan semangat kebangkitan dalam diskusi yang dipimpin oleh sekelompok ulama di kediaman KH Abduh Wahab Chasbullah, Surabaya. Pada proses tersebut, KH Mas Alwi Abdul Aziz mengusulkan nama ‘Nahdlatul Ulama’, mengandung makna kebangkitan yang terwujud sejak berabad-abad lalu. Tujuannya yang luas membuat NU mampu diterima dan dipahami oleh masyarakat dengan baik.

 

Dok PP Muhammadiyah

Sebaliknya, Muhammadiyah, didirikan di Kampung Kauman, Yogyakarta, oleh Muhammad Darwis atau KH Ahmad Dahlan, sebagai sebuah persyarikatan Gerakan Islam pada 18 November 1912. KH Ahmad Dahlan mendorong interaksi antara organisasi Budi Utomo dan menjadi katalisator untuk berdirinya Muhammadiyah. Organisasi ini kemudian menjadi garda terdepan dalam dakwah Islam dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, baik di tingkat perseorangan maupun masyarakat.

Perbedaan waktu berdiri yang mencapai 14 tahun antara NU dan Muhammadiyah tidak menyurutkan peran keduanya dalam membentuk wajah Islam Indonesia. Dalam setiap langkah, keduanya menerjemahkan nilai-nilai Islam dengan cara yang unik, mengakomodasi keberagaman, serta memberikan kontribusi besar dalam memajukan pendidikan dan toleransi di Indonesia.

Dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya, NU dan Muhammadiyah terus menjadi pilar keberagaman, memperkaya dan memantapkan makna keislaman di Indonesia. Keberadaan keduanya seakan menyanyikan harmoni, di mana toleransi dan pendidikan bersatu dalam menjalankan peran pentingnya dalam membentuk karakter bangsa.

Perbedan NU dan Muhammadiyah perspektif keagamaan

 

NU (Nahdlatul Ulama)

1. Membaca Qunut dalam Shalat Subuh.

2. Membaca Sholawat/puji-pujian setelah Adzan.

3. Melaksanakan Tarawih sebanyak 20 Rakaat.

4. Niat Shalat dengan membaca Ushalli.

5. Niat Puasa dan Wudlu dengan membaca nawaitu sauma ghadin dengan jahr, dan niat 
berwudlu dengan nawaitu Wudu’a lirafil hadats.

6. Praktik Tahlilan, Dibaiyah, Berjanzi, dan Selamatan (kenduren).

7. Dzikir setelah shalat dengan suara nyaring.

8. Adzan Subuh dengan lafad Ashalatu khair minan naum.

9. Adzan Jum’at dilakukan 2 kali.

10. Menyebut Nabi dengan kata Sayyidina Muhammad.

11. Shalat Id dilakukan di masjid.

12. Menggunakan Madzhab Empat dalam Fikih (Syafii, Maliki, Hambali, dan Hanafi).

Muhammadiyah

1. Tidak membaca Qunut dalam Shalat Subuh.

2. Tidak membaca puji-pujian/Sholawat.

3. Melaksanakan Tarawih sebanyak 8 Rakaat.

4. Niat Shalat tidak membaca Ushalli.

5. Niat Puasa dan Wudlu tanpa dijahr-kan.

6. Tidak diperbolehkan Tahlilan, Dibaiyah, Berjanzi, dan Selamatan (kenduren).

7. Dzikir setelah shalat dengan suara pelan.

8. Adzan Subuh tanpa Ashalatu khairu minan Naum.

9. Adzan Jum’at dilakukan 1 kali.

10. Tidak menggunakan kata Sayyidina.

11. Shalat Id dilakukan di lapangan.

12. Tidak terikat pada Madzhab dalam Fikih.

Perbedaan dalam praktik ibadah, tata cara berdoa, dan pandangan terhadap tradisi keagamaan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menciptakan keragaman yang memperkaya dan memperluas landasan spiritualitas di Indonesia. Meskipun berbeda dalam beberapa aspek, keberadaan keduanya tetap menjadi pilar penting dalam kehidupan keagamaan di tanah air.

Dalam praktik ibadah, NU dan Muhammadiyah menunjukkan variasi yang mencerminkan perbedaan pemahaman terhadap ajaran Islam. Contohnya, perbedaan dalam membaca Qunut dalam Shalat Subuh, membaca sholawat atau puji-pujian setelah adzan, dan jumlah rakaat dalam tarawih menunjukkan pendekatan yang berbeda dalam mendekati aspek-aspek ibadah sehari-hari.

Tata cara berdoa juga menjadi bagian dari identitas keagamaan masing-masing organisasi. Dari niat shalat hingga niat puasa, NU dan Muhammadiyah menunjukkan perbedaan dalam pembacaan dan formulasi kata-kata yang digunakan. Hal ini mencerminkan corak keberagaman dalam menyampaikan niat dan khusyu’ dalam beribadah.

Pandangan terhadap tradisi keagamaan, termasuk dalam hal tahlilan, dibaiyah, berjanzi, dan selamatan (kenduren), juga menciptakan perbedaan yang mencolok antara NU dan Muhammadiyah. Pendekatan yang lebih inklusif dari NU terhadap tradisi lokal dan kearifan lokal menjadi ciri khasnya, sementara Muhammadiyah lebih menekankan pada pemurnian Islam dari unsur-unsur yang dianggap tidak sesuai.

Meskipun terdapat perbedaan dalam berbagai aspek tersebut, penting untuk diakui bahwa NU dan Muhammadiyah memiliki peran yang tak tergantikan dalam membentuk identitas keagamaan di Indonesia. Keduanya berkontribusi secara signifikan dalam memperkaya dan memperluas pemahaman tentang Islam di tengah masyarakat yang beragam, dan keberadaan keduanya menjadi pilar-pilar keagamaan yang kuat di tanah air. Dalam keberagaman ini, tercipta keharmonisan yang memperkaya spiritualitas dan membentuk keseimbangan dalam praktik-praktik keagamaan di Indonesia.

Perbedan NU dan Muhammadiyah dalam pengaruh Guru

Pendirian dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) oleh KH. Hasyim Asy’ari dan Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan, tidak lepas dari jejak pemikiran dan pengaruh para guru yang membimbing mereka. Keduanya memiliki ciri khas dan orientasi keagamaan yang dipengaruhi oleh berbagai tokoh terkemuka dalam dunia Islam.

KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, tercatat sebagai murid beberapa ulama ternama, antara lain Syeikh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiai Mas Abdullah, dan Kiai Faqih Kembang. Selain itu, tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab, Jamaludin al-Afghany, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida juga menjadi guru-gurunya. Orientasi keagamaan yang dibawa oleh para guru ini mencakup aspek reformisme (Tajdîd) Islam, puritanisasi atau pemurnian ajaran Islam, Islam rasional, dan pembaruan sistem pendidikan Islam.

Di sisi lain, KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, mendapat pengaruh dari KH Kholil Bangkalan, KH Ya?kub, Syaikh Ahmad Amin al-Atthar, Syaikh Sayyid Yamani, Sayyid Sultan Ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan al-Atthar, Sayyid Alawy Ibn Ahmad Al-Saqqaf, Sayyid Abas Maliki, Sayid al-Zawawy, Syaikh Shaleh Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasym al-Dagastany. Kecenderungan orientasi keagamaan yang diterapkan oleh para guru ini mencakup penganjur Fiqih Madzhab Sunni, terutama madzhab Syafi’i, penekanan pada pendidikan tradisional (pesantren), dan praktik tasawuf dan tarekat, serta pemahaman Faham Ahlusunnah Wal Jama’ah.

Dalam perjalanan hidup mereka, baik Ahmad Dahlan maupun Hasyim Asy’ari, menjalani peran kunci dalam mengarahkan dan membentuk pemahaman Islam di Indonesia. Dua tokoh ini menggambarkan kekayaan intelektual dan keberagaman pandangan dalam merespons kondisi sosial dan keagamaan di zamannya, menciptakan dua organisasi Islam yang tetap menjadi pilar keberagaman keislaman di Indonesia hingga hari ini. (Z-4)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *