Bawaslu Didorong Jadikan Pelanggaran Netralitas Menteri Sebagai Temuan

BADAN Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) didorong untuk menjadikan fenomena dugaan pelanggaran netralitas menteri dalam kabinet saat ini sebagai temuan. Kewenangan itu bisa dilakukan Bawaslu tanpa adanya laporan masyarakat.

Hal itu disampaikan mantan Ketua Bawaslu RI periode 2017-2022 Abhan saat ditemui usai acara diskusi bertajuk Efektivitas Pengawasan dan Penegakan Hukum Pemilu di Jakarta, Kamis (18/1).

“Kalau tidak ada laporan masyarakat, Bawaslu dengan mekanisme temuan bisa mempelajari, mengklarifikasi, meneliti lebih lanjut,” katanya.

Baca juga : PBNU Gelar Pertemuan untuk Arahkan Dukungan ke Prabowo-Gibran

Beberapa kegiatan para menteri yang disorot terkait netralitasnya belakangan ini adalah upaya dugaan politisasi bantuan sosial oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Teranyar, Menteri BUMN Erick Thohir mengundang Menteri Pertahanan sekaligus capres nomor urut 2 Prabowo Subianto dalam acara Natal Kementerian BUMN. Ketiga menteri tersebut diketahui mendukung pasangan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres 2024.

Baca juga : Bawaslu Diminta Tegas Terhadap Ketidaknetralan Oknum Kades di Banjarnegara

Menurut Abhan, Bawaslu harus bersikap resposif dalam menyikapi dugaan pelanggaran pemilu. Tanpa laporan dari masyarakat, Bawaslu dapat memaksimalkan mekanisme temuan. Temuan, sebutnya, adalah cara membuktikan keaktifan jajaran Bawaslu sebagai pengawas pemilu.

Abhan menjelaskan, setiap laporan dari masyarakat maupun dugaan pelanggaran pemilu yang tidak ditindaklanjuti bakal berpengaruh pada sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

“(Dugaan pelanggaran) ini akan dibawa sebagai alasan-alasan pihak yang tidak puas dan ini juga bisa mengurangi legitimasi proses maupun hasil pemilu,” jelasnya.

Sementara itu, pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan pengawasan pemilu yang dilakukan Bawaslu dalam edisi Pemilu 2024 seperti tertinggal oleh pengawasan publik.

Dalam acara diskusi itu, Titi menyebut sikap permisif terhadap pelanggaran tersebut patut diduga untuk mengakomodir aktivitas peserta pemilu untuk menjangkau pemilih dengan dalih masa kampanye yang pendek, yakni hanya 74 hari.

Selain itu, ada juga pergeseran tafsir atas Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang menunjukkan inkonsistensi pengawas pemilu.

“Misalnya soal unsur dalam kampanye, baru disebut kampanye kalau ada ajakan memilih. Masak sih, ‘Pilih saya pilih saya!’ Kan enggak begitu. Dengan menampilkan citra diri positif atau joget itu kan sudah kampanye,” terangnya.

Konsekuensinya, terjadi penurunan drastis kasus-kasus pelanggaran pemilu yang ditangani di tengah meningkatnya sorotan soal kecurangan dan pelanggaran pemilu. (Z-5)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *